AKU TAK PANTAS BERHARAP SURGA.....
https://darurrahmahsciences.blogspot.com/2013/08/aku-tak-pantas-berharap-surga.html
Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga
hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah
jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai.
Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum
lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah
shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau
tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan
sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?
Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi
malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang
kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya.
Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha
Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para
sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu
demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh
tetesan air mata.
Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan
maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang
mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal
tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka
tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu
pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku
beriman?
Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas
mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali
mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna
terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka
hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan
menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang
melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi
Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada,
dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh.
Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada
kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang
beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya
senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?
Rasulullah adalah manusia yang
paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan
perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan
istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak
Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang
dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para
sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan
sebaik-baiknya.
Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah
kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan
remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu
ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan
aib dan kejelekan A dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana.
Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati
yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?
Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada
orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka
yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita
menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus
bermuka masam terhadap saudara sendiri?
Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat.
Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati
mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak
butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka
besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah.
Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?
tempat kita
merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan
untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum
kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa
mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah
teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang
yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah
memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar
membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.
Astaghfirullaah
Post a Comment